Pada 21 Maret 2025, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, memberikan pernyataan kontroversial ketika menanggapi teror pengiriman kepala babi kepada wartawan Tempo, Francisca Christy Rosana. Alih-alih menunjukkan sikap empati atau kecaman terhadap aksi yang jelas-jelas mengancam kebebasan pers, ia malah menyarankan agar kepala babi tersebut "dimasak saja." Pernyataan ini memicu kritik keras dari berbagai kalangan, termasuk Koalisi Masyarakat Sipil dan Partai Demokrat, yang menilainya sebagai sikap tidak beretika dan tidak sensitif. Dalam perspektif komunikasi politik, sikap Hasan Nasbi dapat dilihat sebagai cerminan strategi komunikasi yang gagal memenuhi ekspektasi publik, sekaligus menunjukkan tantangan dalam membangun narasi yang konsisten di tengah situasi krisis.
Komunikasi politik, sebagaimana didefinisikan oleh para ahli seperti Brian McNair, adalah proses penyampaian pesan oleh aktor politik untuk memengaruhi persepsi publik dan mempertahankan legitimasi kekuasaan. Dalam konteks ini, Hasan Nasbi, sebagai pejabat yang mewakili Istana, memiliki peran krusial dalam merumuskan respons yang tidak hanya mencerminkan sikap pemerintah, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepresidenan. Namun, pernyataannya yang bernada candaan justru menciptakan kesan bahwa pemerintah tidak serius menangani isu sensitif seperti ancaman terhadap kebebasan pers, yang merupakan pilar demokrasi.
Dari sudut pandang komunikasi krisis, sikap Hasan Nasbi menunjukkan kegagalan dalam memahami prinsip dasar pengelolaan pesan di saat situasi genting. Menurut Timothy Coombs, komunikasi krisis yang efektif harus menunjukkan empati, transparansi, dan komitmen untuk menyelesaikan masalah. Alih-alih menenangkan publik atau menegaskan dukungan terhadap kebebasan pers, pernyataan Hasan malah memperburuk persepsi publik dengan mengesankan sikap acuh tak acuh. Hal ini terutama krusial mengingat teror kepala babi tidak hanya ditujukan kepada individu, tetapi juga kepada institusi media yang memiliki fungsi kontrol sosial terhadap kekuasaan.
Lebih jauh, pernyataan tersebut dapat dianalisis sebagai bagian dari strategi framing dalam komunikasi politik. Framing, menurut Robert Entman, adalah proses menyeleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari sebuah isu untuk membentuk interpretasi publik. Dengan menyarankan agar kepala babi "dimasak saja," Hasan tampak berupaya meminimalkan makna simbolik dari teror tersebut, mengubahnya dari ancaman serius menjadi sesuatu yang sepele dan dapat diabaikan. Namun, strategi ini gagal karena bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung masyarakat, seperti penghormatan terhadap profesi jurnalis dan sensitivitas terhadap isu keamanan.
Sikap Hasan Nasbi juga mencerminkan paradoks dalam komunikasi politik era modern, di mana pejabat publik sering kali terjebak antara keinginan untuk tampil santai dan relatable dengan kebutuhan untuk menjaga wibawa institusi. Dalam kasus ini, candaan yang ia lontarkan mungkin dimaksudkan untuk meniru respons santai Francisca di media sosial, yang meminta "daging babi" sebagai bentuk sindiran terhadap peneror. Namun, apa yang berhasil sebagai respons individu dari seorang jurnalis tidak otomatis efektif ketika diucapkan oleh seorang pejabat negara, yang diharapkan memiliki standar komunikasi lebih tinggi dan bertanggung jawab atas dampak pesannya.
Kritik dari Partai Demokrat yang menyebut Hasan "miskin etika" dan desakan dari aktivis seperti Ray Rangkuti agar ia mundur menunjukkan bahwa pernyataan tersebut telah merusak kredibilitasnya sebagai komunikator politik. Dalam teori komunikasi politik, kredibilitas sumber adalah elemen kunci dalam memengaruhi publik. Ketika seorang pejabat seperti Hasan kehilangan kepercayaan akibat ucapan yang dianggap tidak pantas, maka kemampuannya untuk menyampaikan pesan pemerintah di masa depan juga akan terancam. Ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah Hasan masih layak memimpin Kantor Komunikasi Kepresidenan, sebuah lembaga yang baru dibentuk untuk meningkatkan efektivitas komunikasi strategis presiden.
Dari perspektif hubungan masyarakat (public relations), sikap Hasan Nasbi juga dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap prinsip dasar pengelolaan citra institusi. Sebagai Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, ia tidak hanya bertugas menyampaikan kebijakan, tetapi juga melindungi reputasi Istana. Pernyataan yang memicu kontroversi justru menempatkan pemerintah dalam posisi defensif, memaksa Istana untuk mengklarifikasi atau membela diri, sebagaimana terlihat dalam penjelasan Hasan pada 22 Maret 2025 bahwa ia hanya mendukung respons santai Francisca untuk "melecehkan peneror." Namun, klarifikasi ini datang terlambat dan tidak cukup meredam kerusakan yang telah terjadi.
Kontekstualisasi budaya juga penting dalam memahami mengapa pernyataan Hasan menuai kecaman. Dalam masyarakat Indonesia yang plural, kepala babi memiliki makna simbolik yang sensitif, terutama terkait isu agama dan identitas. Meskipun Hasan mungkin tidak bermaksud menyinggung, ketidakpekaannya terhadap konteks ini menunjukkan kurangnya literasi budaya yang seharusnya dimiliki oleh seorang komunikator politik. Hal ini memperkuat argumen bahwa komunikasi politik tidak boleh hanya berfokus pada pesan verbal, tetapi juga pada pemahaman mendalam tentang audiens yang dituju.
Masa Depan Komunikasi Istana
Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi masa depan komunikasi Istana, khususnya di bawah kepemimpinan Hasan Nasbi atau penggantinya. Kantor Komunikasi Kepresidenan, yang didirikan melalui Perpres Nomor 82 Tahun 2024, memiliki mandat untuk menciptakan komunikasi yang sinergis dan terpadu demi mendukung program prioritas presiden. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, Istana perlu membangun tim komunikasi yang tidak hanya kompeten dalam strategi, tetapi juga sensitif terhadap dinamika sosial dan politik. Insiden ini menunjukkan perlunya pelatihan intensif bagi pejabat komunikasi dalam hal pengelolaan krisis, literasi budaya, dan etika publik, agar komunikasi Istana ke depan dapat lebih responsif dan tidak memicu konflik yang tidak perlu. Jika Hasan tetap bertahan, ia harus membuktikan kemampuannya untuk belajar dari kesalahan ini dan memposisikan Kantor Komunikasi Kepresidenan sebagai institusi yang kredibel dan dipercaya publik.
Pada akhirnya, sikap Hasan Nasbi dalam menanggapi teror kepala babi adalah cerminan dari tantangan yang lebih besar dalam komunikasi politik di Indonesia: menyeimbangkan otoritas dengan empati, serta wibawa dengan keterhubungan. Dalam era di mana media sosial mempercepat penyebaran informasi dan kritik, pejabat publik tidak lagi bisa mengandalkan pendekatan lama yang mengabaikan sentimen masyarakat. Kejadian ini harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi strategi komunikasinya, memastikan bahwa pesan yang disampaikan tidak hanya mencerminkan kebijakan, tetapi juga nilai-nilai demokrasi yang menjadi fondasi negara. Tanpa perubahan, komunikasi politik Istana berisiko kehilangan legitimasi di mata publik, sebuah kerugian yang jauh lebih besar daripada sekadar kontroversi sementara (***)
Posting Komentar