Budiman Sudjatmiko yang Saya Kenal: Perjalanan Ideologi Politik Dimulai dari Mukidi


“…Prabowo adalah musuh politik Iko, karena Iko adalah korban dari rezim militeristik Orde Baru yang represif. Namun, mengapa sekarang Iko terlihat mendekat ke Prabowo?”



NAMA Budiman Sudjatmiko baru-baru ini menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media dan media sosial setelah pertemuannya dengan Ketua Partai Gerindra, Prabowo Subiakto, pada Selasa, 19 Juli 2023. Dalam pernyataannya, Budiman Sudjatmiko menegaskan bahwa pertemuan dengan Menteri Pertahanan tersebut bukan atas nama partainya, melainkan sebagai pribadi.


Saya telah mengenal Budiman Sudjatmiko, atau yang akrab kami panggil Iko, sejak kami bersekolah di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta (SMA Muhi). Kami berada dalam satu kelas, yaitu Kelas A32 tahun 1986-1987.


Iko dikenal sebagai ketua “Muhi Kelompok Diskusi” atau biasa disebut Mukidi. Istilah "Mukidi" ternyata sudah kami kenal sejak masa remaja kami di SMA dulu. Iko sangat mahir dalam berdiskusi, menunjukkan hasrat dan ketekunan yang mendalam saat kami membahas berbagai topik. Dia adalah seorang pembaca yang rajin, dan dia bangga mengaku telah menyelesaikan membaca buku "Di Bawah Bendera Revolusi" milik Bung Karno ketika dia masih di sekolah dasar. Iko dibesarkan di Cilacap, Jawa Tengah, di bawah bimbingan kakeknya yang sangat mengagumi Bung Karno. Sejak itu, benih-benih semangat kebangsaan dan nasionalisme Soekarnois Marhenis tertanam dalam diri Iko.


Gestur dan cara bicara Iko masih saya kenali hingga saat ini, sama seperti saat dia bersekolah di Jogja dulu. Kami sering berdiskusi bersama dengan teman lainnya, Ali Rizkatillah Audah -- di mana kami dikenal sebagai tiga serangkai -- di kosan Iko di daerah Kauman. Meski saya tidak sepenuhnya ingat, kabarnya kosan Iko pernah digrebek oleh aparat. Entah karena aktivitasnya yang cenderung kiri atau karena dia pernah menghadiri kebaktian di sebuah gereja di Kotabaru Jogja dan kemudian terungkap oleh jamaah gereja tersebut. Saya lupa dengan konteksnya. Mungkin Iko masih ingat kejadian tersebut.


Kami satu kelas selama lebih dari satu tahun sebelum Iko tiba-tiba menghilang dari kelas saat kami kelas tiga SMA. Tidak ada berita atau informasi tentang keberadaannya. Seperti datang tanpa dijemput, pulang tanpa diantar. Belakangan saya tahu bahwa dia pindah ke SMA Negeri 5 Bogor. Konon, orangtuanya tinggal di kota hujan ini.


Budiman Sudjatmiko yang saya kenal adalah Iko yang memiliki ideologi kiri yang kuat. Dia adalah pengagum berat Karl Marx, Lenin, Che Guevara, dan tokoh-tokoh kiri lainnya, serta tentu saja Bung Karno. Iko sangat fasih berbicara tentang Marxisme, Leninisme, ateisme, dan komunisme. Dia juga lihai membahas keburukan kapitalisme dan kolonialisme.


Bung Karno adalah panduan ideologis bagi Iko. Jadi, ketika dia keluar dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), saya tidak terkejut sama sekali; itu seperti ikan bertemu air – transisi yang mulus. Demikian pula, jika suatu saat dia keluar dari PDIP dan bergabung dengan Gerindra, saya tidak akan terkejut juga karena bagi Iko, partai politik hanyalah alat perjuangan. Yang paling penting baginya adalah di mana ajaran-ajaran Bung Karno dapat berkembang dan tumbuh subur.


Dulu, Prabowo adalah musuh politik Iko, karena Iko adalah korban dari rezim militeristik Orde Baru yang represif. Namun, mengapa sekarang Iko terlihat mendekat ke Prabowo? Apakah benar seperti yang dikatakan Iko bahwa Indonesia saat ini membutuhkan seorang pemimpin yang berpengalaman seperti Prabowo? Hanya Allah dan Iko yang tahu jawabannya. Saya hanya dapat menduga bahwa Iko mungkin merasa tidak lagi nyaman di PDIP. Melihat dari ideologi yang dianut oleh Iko, ada kemungkinan PDIP sudah tidak sejalan dengan keyakinan yang dipegangnya sejak masa sekolah dulu. Wallahu a’lam.


Selepas sekolah, saya hanya sekali menghubungi Iko ketika dia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Itu pun hanya melalui telepon. Iko tetap rendah hati seperti dulu ketika kami sekolah bersama. Namun, saya sedikit kecewa ketika Iko memanggil saya "Pak Irwan." Rasanya ada jarak ketika seorang teman lama memanggil dengan sebutan seperti itu.


Apakah Iko seorang ateis dan komunis? Tentu saja tidak. Dia adalah seorang Muslim. Setidaknya saat kami bersama dulu, Iko tetap menjalankan sholat, puasa, dan berbagai ritual agama lainnya dengan tekun, sebagaimana seorang Muslim yang taat.


Sepanjang persahabatan kami, Iko adalah seorang pengagum berat ideologi kiri. Saya ingat dia beberapa kali mengunjungi Kedutaan Besar Uni Soviet dan Republik Demokratik Korea (Korea Utara). Saat kembali, dia membawa pulang beragam buku sebagai oleh-oleh dari kedutaan-kedutaan negara-negara tersebut. Iko juga lihai menulis menggunakan huruf Sirilik, alfabet yang digunakan di Rusia dan negara-negara bawahan Uni Soviet (***)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama