Pemilu yang Menyisakan Rasa Pahit


Di tengah hiruk-pikuk pemilihan umum di negeri antah berantah, bukan pesta demokrasi yang meriah yang didapat, melainkan kekecewaan yang membelah hati rakyat. Kecurangan mengalir deras sebelum dan sesudah pemilu, menampilkan pertunjukan politik yang lebih mirip drama absurd. Rakyat menjadi saksi bisu, menyaksikan para penguasa menggelar panggung sandiwara untuk mempertahankan kursi kekuasaan. Dalam negeri yang gemah ripah loh jinawi ini, rakyat terasa seperti penonton yang harus menelan pil pahit ketika pak pandir terpilih menjadi penguasa. Bagaimana sebuah pemilu yang seharusnya menjadi pesta demokrasi berubah menjadi drakor melow yang tak terlupakan?

Pertama-tama, secara terang benderang kecurangan telah terjadi sebelum pemilu dimulai. Kandidat-kandidat berlomba-lomba menggunakan berbagai trik licik untuk memanipulasi pendapat publik. Mulai dari janji-janji manis hingga kampanye hitam yang meracuni suasana. Rakyat dijejali dengan informasi palsu dan opini terdistorsi, membuat pemilihan umum seolah menjadi pertarungan ilusi. Kehadiran media massa menjadi senjata ampuh bagi para kandidat yang ingin mencitrakan diri mereka lebih baik dari yang sebenarnya.

Namun, drama belum berakhir ketika kotak suara ditutup. Kecurangan meluas seperti virus tak terkendali. Penyalahgunaan wewenang, pembelian suara, dan manipulasi data menjadi menu harian para penguasa petahana. Rakyat, seolah dihadapkan pada pemandangan absurd, menyaksikan pemilihan umum yang semestinya menjadi jalan demokratis, berubah menjadi arena pertarungan kekuasaan yang kotor dan licik.

Rakyat yang seharusnya menjadi kekuatan utama dalam sistem demokrasi, kini terasa seperti orang bodoh yang terpedaya. Mereka menjadi penonton tanpa daya, dipaksa menyaksikan pak pandir terpilih menjadi pemimpin. Rasa kecewa merasuk di hati mereka, sementara penguasa dengan sombongnya merayakan kemenangan palsu. Bagaimana negeri yang kaya ini bisa bangkit ketika kepercayaan rakyat telah dipertaruhkan?

Pemilihan umum seharusnya menjadi momentum pencerahan, namun kini lebih terasa seperti pertunjukan wayang yang hanya memperlihatkan bayangan keadilan. Dalam negeri antah berantah ini, pemilu telah menyisakan rasa pahit yang sulit dilupakan. Suara rakyat seolah tenggelam dalam kebisingan ambisi politik. Bagaimana negeri ini dapat kembali memulihkan kepercayaan rakyat dan menyongsong masa depan yang lebih cerah? Itulah pertanyaan yang melingkar di benak setiap warga negara, sementara bayang-bayang kecurangan masih menggelayuti panggung politik mereka (***)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama