![]() |
"Walaupun Jokowi berhak menggunakan hak prerogatifnya untuk melakukan perubahan dalam kabinet, namun tetap saja terlihat bahwa ini hanya langkah kosmetik belaka."
RESHUFFLE kabinet yang baru-baru ini (Senin, 17/7/2023) dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan bahwa meskipun sudah memasuki akhir masa jabatannya, dia masih kesulitan mencapai target-target pemerintahannya. Seolah-olah, Jokowi baru saja memulai masa kepemimpinannya yang pertama.
Dalam reshuffle tersebut, terlihat bahwa Jokowi mencoba melakukan perubahan dalam komposisi kabinetnya dengan mengangkat satu menteri baru dan lima wakil menteri. Namun, pertanyaannya adalah apa yang sebenarnya dia cari dengan perubahan ini? Jika melihat hasilnya, tampaknya kebingungan dan kelemahan pemerintah masih menjadi sorotan utama.
Salah satu perubahan yang terjadi adalah penggantian posisi Menteri Komunikasi dan Informatika yang sebelumnya dijabat oleh Budi Arie. Johnny G. Plate, yang sebelumnya menjabat posisi tersebut, terjerat kasus korupsi. Meskipun terlihat sebagai langkah yang baik untuk mengatasi masalah korupsi, namun ini seharusnya sudah seharusnya dilakukan lebih awal dalam masa jabatan Jokowi.
Selain itu, perubahan juga terjadi pada posisi wakil menteri. Pahala Mansury, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Menteri BUMN, dipindahkan ke jabatan Wakil Menteri Luar Negeri yang sebelumnya kosong. Sedangkan posisi Wakil Menteri BUMN yang ditinggalkan oleh Pahala diisi oleh Rosan Roeslani, Dubes RI untuk Amerika Serikat (AS). Perubahan ini menunjukkan bahwa Jokowi mencoba memperkuat hubungan luar negeri, namun apakah ini sudah terlambat? Mengingat masa jabatannya yang tinggal sedikit, ini seharusnya sudah menjadi fokus utama sejak awal pemerintahannya.
Selain itu, terdapat pergeseran posisi wakil menteri lainnya, seperti dalam sektor Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT), serta sektor Agama. Namun, pertanyaannya adalah mengapa perubahan ini dilakukan pada akhir masa jabatan? Mengapa tidak lebih awal, ketika masih ada waktu yang cukup untuk mengukur dampak dari perubahan tersebut?
Namun, ada juga pandangan kritis terhadap reshuffle kabinet ini. Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, menilai bahwa langkah ini hanya merupakan peragaan politik terburuk yang dilakukan oleh Jokowi. Menurutnya, Jokowi hanya mengangkat orang-orang yang dapat memenuhi keinginan pribadi dan kelompoknya, tanpa mempertimbangkan kapasitas dan integritas mereka. Ini menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintahan.
Walaupun Jokowi berhak menggunakan hak prerogatifnya untuk melakukan perubahan dalam kabinet, namun tetap saja terlihat bahwa ini hanya langkah kosmetik belaka. Masalah yang seharusnya dihadapi sejak awal pemerintahan tidak mendapatkan perhatian yang serius, dan perubahan ini terlambat dilakukan.
Dalam situasi seperti ini, wajar jika banyak yang merasa bahwa Jokowi masih kesulitan untuk mencapai target-targetnya. Tampaknya, dia layaknya baru belajar menjadi presiden di tahun pertama masa pemerintahannya saja. Akhir masa jabatannya seharusnya menjadi momen untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada, bukan melakukan perubahan yang terlambat dan hanya memberikan kesan politis belaka. Masyarakat Indonesia berharap agar para pemimpin bisa memanfaatkan sisa masa jabatan mereka dengan sebaik-baiknya untuk membangun keadilan, kesejahteraan, dan stabilitas bagi rakyat (***)

Posting Komentar