Mengulik Kembali Kontroversi Revisi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Menjadi UU No. 3 Tahun 2020




Pada tanggal 12 Mei 2020, Revisi Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disahkan menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun, revisi ini telah menimbulkan kontroversi karena dinilai hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dalam artikel ini, kita akan mengulik beberapa poin kontroversial yang terdapat dalam UU Minerba tersebut dengan pendekatan yang kritis dan akuntabel.

Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah Pasal 169A yang terkait dengan perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa melalui proses pelelangan. Melalui pasal tersebut, pemegang KK dan PKP2B yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 kali perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), masing-masing paling lama selama 10 tahun. Kontroversi muncul karena kebijakan ini dapat memberikan keuntungan bagi pihak-pihak yang sudah memiliki akses dan pengaruh di sektor pertambangan, sementara peserta baru atau pihak-pihak yang memiliki potensi kekayaan mineral, menjadi terbatas kesempatan mereka untuk memperoleh izin. Hal ini dapat menciptakan ketidakadilan dalam pemberian izin usaha pertambangan.

Penghapusan Pasal 165 yang mengatur sanksi bagi pihak yang mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) juga menjadi kontroversial. Penghapusan ini dianggap bertentangan dengan semangat UU Minerba yang seharusnya melindungi dan mengatur kegiatan pertambangan dengan baik. Sanksi yang adil dan tegas sangat penting untuk mendorong pemegang izin agar mematuhi peraturan dan menjalankan kegiatan pertambangan secara bertanggung jawab. Tanpa adanya sanksi yang memadai, risiko pelanggaran terhadap peraturan pertambangan dapat meningkat, berdampak negatif pada lingkungan, serta masyarakat sekitar.

Selanjutnya, penghapusan Pasal 45 UU No. 4 Tahun 2009 juga menimbulkan keprihatinan. Pasal ini mengharuskan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) melaporkan hasil kegiatan eksploitasi dan studi kelayakan mereka. Dengan penghapusan ini, pemegang IUP tidak lagi diwajibkan melaporkan hasil minerba yang mereka peroleh dari kegiatan eksploitasi dan studi kelayakan. Kontroversi muncul karena laporan hasil minerba yang akurat sangat penting dalam pemantauan dan pengelolaan sumber daya mineral negara. Tanpa laporan yang tepat, pengawasan terhadap kegiatan pertambangan menjadi sulit dilakukan, meningkatkan risiko praktik ilegal dan merugikan negara.

Kritik terhadap revisi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi UU No. 3 Tahun 2020 ini haruslah diperhatikan secara serius. Kebijakan yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu dapat menciptakan ketidakadilan, ketidakefisienan, dan dampak negatif terhadap lingkungan serta masyarakat. Pemerintah dan pihak terkait perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap revisi tersebut, melibatkan berbagai stakeholder dalam proses perubahan kebijakan pertambangan, serta memastikan bahwa kepentingan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan tetap menjadi prioritas utama. Hanya dengan pendekatan yang kritis dan akuntabel, kita dapat mencapai kebijakan pertambangan yang berkelanjutan dan adil bagi semua pihak.

Beberapa Isu Penting 

Ada beberapa isu penting terkait dengan revisi UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang perlu diperhatikan, antara lain:

Pertama, penting untuk menyebutkan bahwa kontroversi terkait revisi UU Minerba tidak hanya berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan bisnis semata, tetapi juga menyangkut isu lingkungan dan keberlanjutan. Kegiatan pertambangan mineral dan batubara memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan, termasuk degradasi lahan, kerusakan ekosistem, polusi air dan udara, serta konflik sosial dengan masyarakat setempat. Oleh karena itu, perubahan kebijakan yang berhubungan dengan sektor pertambangan harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan keberlanjutan secara serius.

Kedua, penting untuk menggarisbawahi perlunya keterlibatan publik yang lebih luas dalam proses perubahan kebijakan pertambangan. Partisipasi masyarakat sipil, komunitas lokal, dan para ahli di bidang pertambangan sangat penting untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan adalah transparan, akuntabel, dan berpihak kepada kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks ini, forum-forum dialog publik dan mekanisme partisipatif harus didorong agar semua suara dan kepentingan dapat terwakili dengan baik.

Ketiga, penting untuk memperhatikan implikasi jangka panjang dari revisi UU Minerba ini. Keputusan yang dibuat dalam perubahan kebijakan saat ini akan berdampak pada masa depan sektor pertambangan dan ketersediaan sumber daya mineral negara. Oleh karena itu, harus ada pertimbangan matang terhadap implikasi ekonomi, sosial, dan lingkungan jangka panjang dari setiap kebijakan yang diambil.

Terakhir, perlu ditekankan bahwa keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan adalah kunci untuk mencapai keberlanjutan dalam sektor pertambangan. Kebijakan yang menguntungkan semua pihak secara seimbang, menghormati hak-hak masyarakat setempat, dan menjaga keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya dan perlindungan lingkungan harus menjadi prioritas utama.

Dengan demikian, revisi UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memang memiliki poin-poin kontroversial yang perlu dikaji lebih lanjut. Dalam menghadapi isu-isu kompleks di sektor pertambangan, kebijakan yang berkelanjutan dan berpihak kepada kepentingan masyarakat dan lingkungan harus selalu diutamakan (***) 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama