PADA sebuah negeri antah berantah, hiduplah seorang pemimpin yang terkenal akan kecenderungannya dalam melakukan pencitraan. Ia sangat doyan memperbesar-besarkan pekerjaan yang sebenarnya kecil, seolah-olah menjadi hal yang luar biasa. Namun, ironisnya, pekerjaan yang seharusnya besar dan berdampak signifikan jarang sekali terlihat kejelasan kepastiannya.
Bukan hanya itu, pertikaian tampaknya menjadi hal yang tak terhindarkan di sekitar kepemimpinan sang pemimpin. Oposisi politik dianggap sebagai musuh yang mengganggu program kerjanya, bukan dilihat sebagai kritik yang konstruktif. Masyarakat yang seharusnya bersatu justru terbelah oleh konflik ini.
Tak hanya bergantung pada pencitraan semata, sang pemimpin juga menggunakan para buzzer politik untuk memanipulasi progres pekerjaannya. Mereka menjalankan tugas dengan menyebarluaskan informasi yang tidak akurat dan propaganda melalui media sosial. Dengan begitu, persepsi publik dapat dimanipulasi sesuai dengan kepentingan sang pemimpin.
Dampak dari perilaku pemimpin ini sangat terasa oleh masyarakat. Kepercayaan terhadap pemerintah menjadi semakin terkikis, karena banyaknya janji-janji kosong yang tidak terealisasi. Polaritas dan pertikaian di antara warga negara semakin membesar, karena pemimpin yang seharusnya menjadi penghubung dan pemersatu justru memperdalam perpecahan.
Tentu saja, ada sejumlah pekerjaan yang memang dilakukan oleh sang pemimpin, tetapi sering kali tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kemajuan negeri. Padahal, ada pekerjaan besar yang seharusnya menjadi fokus utama, namun sayangnya hal itu seringkali terabaikan.
Dalam upaya untuk menjaga popularitasnya, sang pemimpin sering kali mengumbar pencitraan. Setiap kegiatan kecil yang dilakukannya dipromosikan seolah-olah menjadi prestasi besar yang patut dipuji. Dengan begitu, masyarakat diberikan ilusi bahwa pemimpin tersebut sedang melakukan banyak hal untuk kebaikan negeri.
Sementara itu, pekerjaan yang memang berpotensi mengubah negeri ini menjadi lebih baik terlihat kabur dan tidak jelas juntrungannya. Rencana dan program yang seharusnya menjadi prioritas seringkali terhanyut dalam kebingungan dan ketidakkonsistenan pemimpin.
Yang lebih mengkhawatirkan, pemimpin ini cenderung menutup diri dari kritik dan pendapat berbeda. Oposisi politik yang semestinya menjadi pihak yang memberikan kontrol dan keseimbangan justru dianggap sebagai musuh yang harus dihadapi dan dikalahkan. Tindakan ini semakin memperdalam perpecahan dan meningkatkan ketegangan di antara masyarakat.
Survei yang dilakukan oleh kelompok yang memiliki kepentingan sama dengan sang pemimpin selalu menghasilkan angka kepuasan masyarakat yang sangat tinggi. Namun, keberhasilan survei tersebut patut dipertanyakan, mengingat adanya manipulasi informasi dan persepsi publik yang dilakukan oleh buzzer politik.
Pemimpin negeri antah berantah ini telah mengubah masyarakat menjadi terbelah dan terpecah. Kepercayaan yang hilang, pertikaian yang semakin menguat, dan manipulasi informasi yang merajalela semakin memperumit situasi. Perlu adanya kesadaran dan tindakan untuk memperbaiki kondisi ini, agar negeri antah berantah ini dapat menemukan jalan menuju persatuan dan kemajuan yang sebenarnya (***)
Posting Komentar